Yogyakarta-Humas BRIN. Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia (Poltek Nuklir) BRIN mengenalkan konsep dasar Pendidikan Khas Kejogjaan (PKJ) kepada mahasiswa baru melalui kegiatan Pekan Orientasi Mahasiswa Terpadu (Poster), Kamis (29/8) lalu. Kegiatan dilaksanakan dengan tujuan untuk memperkenalkan konsep dasar pendidikan khas Kejogjaan kepada mahasiswa, serta memastikan bahwa mahasiswa dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti yang baik.
“Pendidikan khas Kejogjaan adalah pendidikan yang berbasis budaya Jogja. Wujud budaya Jogja antara lain adalah tata nilai budaya yang bersumber dari gagasan, aktivitas, dan artefak seperti tata krama dan unggah-ungguh, seni sastra, seni tari, seni karawitan, seni kriya, seni batik,” ungkap Arif Bintoro Johan selaku narasumber kegiatan.
Adapun sumber budaya jogja adalah Kraton Ngayogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Muhammadiyah, Pondok Pesantren, Tamansiswa, dan Barat. “Ada tiga filosofis yang menjadi konsep Pendidikan Khas Kejogjaan, yaitu Hamemayu Hayuning Bawana, Sangka Paraning Dumadi dan Manunggaling Kawula Gusti,” jelasnya.
Hamemayu Hayuning Bawana memiliki makna bahwa pendidikan khas kejogjaan berkontribusi untuk turut menjaga kedamaian, ketertiban, dan keindahan dunia. Sangkan Paraning Dumadi, menekankan pendidikan khas Kejogjaan supaya berorientasi pada kesadaran asal dan tujuan manusia (kepada Tuhan). Manunggaling Kawula Gusti, menciptakan kesatuan anatara manusia dan Tuhan dan kesatuan antara kawula dan raja, rakyat dan pemerintah.
“Dari ketiga nilai filosofis tersebut, akan tercipta sebuah paradigma yaitu Karyenak Tyasing Sasama (Humanis), yang mengandung nilai mangasah mingising budi, mamasuh malaning bumi; pamenthanging gendhewa, pemanthenging cipta; sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh dan golong-gilig,” terang Arif yang biasa disapa dengan Ki Abeje Janoko.
Mangasah mingising budi, mamasuh malaning bumi memiliki arti hidup bahagia dan sehat, memiliki kompetensi etika yang mengarahkan hidup kesehariannya, menjaga keluhuran diri dan keharmonisan dengan orang lain serta berperilaku sesuai adat istiadat dan tata krama yang berlaku di masyarakat.
“Pamenthanging gendhewa memiliki makna bahwa kita harus menerima keberagaman sebagai warga global (multikultural), memiliki banyak ide dan dapat menuangkan gagasannya dalam karya nyata (tulisan, tarian, puisi, gambar) serta mampu menemukan berbagai macam cara mengatasi persoalan secara rasional,” ungkapnya.
Sementara itu, sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh dimaknai sebagai upaya mengerahkan segala sumber daya secara terpadu; disiplin, dinamis, gigih dan kerja keras; percaya diri dalam bertindak serta tidak mundur dalam menghadapi risiko apapun.
“Adapun makna dari golong gilig adalah kita harus memiliki kesadaran kapan harus memimpin dan kapan dipimpin; berorientasi pada yang benar; menyadari, menerima, mengakui kemampuan diri serta mampu menunjukkan kesesuaian antara perkataan dengan tindakan,” terangnya.
Tujuan utama Pendidikan Khas Kejogjaan adalah Jalma kang Utama, hal itu berarti pendidikan nasional harus mampu membentuk jalma kang utama pada generasi Indonesia Emas yang modern futuristik, tetapi tetap mempunyai roh dan jati diri bangsa Indonesia, dengan berakar kuat pada budaya luhur Nusantara.
“Pendidikan juga harus menjadikan manusia unggul, berkarakter mulia dan berbudaya yang dapat menuntun kita untuk menjadi bangsa besar di kemudian hari yang siap menghadapi akselerasi perkembangan teknologi. Ajaran ngajeni, ngapurancang, nuwun sewu, nderek langkung, matur nuwun, nyuwun ngapunten, merupakan ajaran yang harus dilestarikan,” tutupnya. (tek, ans/ed:mn)